Life Style

Mahalnya Harga Kemewahan: Apakah Fesyen Kehilangan Jiwanya?

Merek fesyen mewah saat ini sedang dalam pengawasan ketat, dan banyak orang dalam industri telah mengantisipasi perubahan ini. Seiring melonjaknya pemasaran media sosial, merek-merek ini bekerja keras untuk bersaing dengan rumah-rumah terkenal seperti Gucci, Chloé, dan Loewe. Namun, tujuan ambisius mereka telah menghasilkan denda yang besar—tepatnya €157 juta dari UE. Masalahnya terletak pada desakan merek-merek ini untuk mempertahankan harga selangit sambil mencoba mendikte persyaratan kepada pengecer mengenai diskon, harga, dan periode penjualan. Strategi yang keras ini menghambat persaingan yang sehat dan melemahkan upaya kreatif pihak lain di pasar. Keputusan UE untuk mengenakan denda besar terhadap merek-merek terkemuka menyoroti meningkatnya kekhawatiran terhadap praktik etika dalam industri ini, dan menekankan kebutuhan mendesak akan pendekatan yang lebih berbelas kasih terhadap fesyen. Galeries Lafayette Membuka Toko Besar seluas 90.000 Kaki Persegi di Fort, Mumbai.

Fesyen mewah menghadapi tantangan dalam mempertahankan nilai yang dirasakan di tengah tren kreatif yang terus berkembang.

Kering, perusahaan induk Gucci, tidak segan-segan mengakui bahwa mereka telah menyisihkan dana untuk menutupi denda tersebut, mengisyaratkan adanya masalah yang lebih besar. Sementara itu, LVMH dan Richemont, yang mengawasi Loewe dan Chloé, masih tutup mulut untuk saat ini. Pesan UE jelas: bahkan para elit fesyen pun tidak bisa lepas dari aturan fair play—dan merek-merek ini tentu saja termasuk dalam kelompok yang tidak bisa diganggu gugat.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bagaimana lanskap kemewahan terus berkembang. Norma baru ini bukan lagi hanya tentang direktur kreatif; ini tentang sutradara selebriti. Alih-alih mempekerjakan desainer berpengalaman yang memahami nuansa pengerjaan, merek malah menghadirkan ikon budaya. Bayangkan Pharrell Williams di Louis Vuitton atau Jaden Smith di Christian Louboutin—selebriti ini bukan hanya wajah merek tersebut; mereka juga mengarahkan arah kreatif. Namun hal ini menimbulkan pertanyaan menarik: Apakah merek-merek ini benar-benar mencari visioner, atau mereka mengincar pengikut yang memiliki label harga mahal?

Kenyataannya adalah, nama terkenal mungkin menjadi berita utama, tetapi hal itu tidak secara otomatis mencerminkan kreativitas atau kualitas produk. Banyak pakar fesyen berpengalaman yang berpaling dari barang-barang mencolok dan mahal ini. Kemewahan dulunya identik dengan perajin—orang-orang berdedikasi yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menguasai kerajinan mereka. Kini, fokusnya tampaknya telah bergeser ke arah pengaruh budaya. Sebaliknya, India menemukan kembali nilai dari pengrajin dan keahlian yang kaya, menyoroti arti kemewahan sejati. Kampanye Terbaru The Ordinary Tentang Standar Kecantikan Menawarkan Tantangan yang Kita Hadapi dalam Mengejar Kecantikan.

Dunia Barat tampaknya telah kehilangan arah, memilih untuk mempromosikan figur publik yang mungkin tidak mengetahui seluk-beluk pemotongan kain atau pembuatan pola namun memiliki kemampuan untuk mewariskan warisan generasi. Ketika kemewahan terus berubah menjadi wahana untuk hype media sosial, kita harus bertanya-tanya: Apakah evolusi ini sepadan dengan uang yang kita peroleh dengan susah payah, atau hanya sekedar hype sekilas yang disesuaikan dengan tren pemasaran terkini?

(Cerita di atas pertama kali muncul di Terkini pada 29 Okt 2025 16:55 IST. Untuk berita dan pembaruan lebih lanjut tentang politik, dunia, olahraga, hiburan, dan gaya hidup, masuk ke situs web kami terkini.com).



Sumber

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button